Info Pacitan | Wisata | Seni & Budaya | Sejarah | Lokasi menarik | Traveling | Download | Dan lain-lain
Selasa, 14 Juli 2015
"UPACARA ADAT MANTU KUCING PACITAN" Upacara ritual permohonan di turunkan hujan. [Desa Purworejo - Kecamatan Pacitan]
UPACARA MANTU KUCING DESA PURWOREJO PACITAN
Upacara adat sebagai bagian dari kebudayaan tradisional warga desa juga dimiliki oleh warga desa Purworejo Kecamatan Pacitan Kabupaten Pacitan Jawa Timur, yaitu upacara adat keagamaan yang bernama “Mantu Kucing” dimana upacara ini dilaksanakan warga dalam rangka meminta kepada Sang Maha Pencipta supaya diturunkan hujan.
A. SEJARAH UPACARA ADAT MANTU KUCING
Upacara adat mantu kucing merupakan upacara adat untuk memohon kepada Tuhan Ynag Maha Esa agar menurunkan hujan di daerah orang-orang yang mengadakan upacara tersebut. Upacara ini dilaksanakan bila tiba musim kemarau yang berkepanjangan dan berdampak negatif terhadap warga masyarakat yang masih agraris.
Upacara adat ini diangkat dari tradisi masyarakat desa Purworejo. Desa Purworejo merupakan salah satu desa di Kota Pacitan yang terletak kurang lebih 3 Km dari pusat kota. Desa ini termasuk dalam Kecamatan Pacitan Kabupaten Pacitan Jawa Timur. Kondisi wilayahnya didominasi persawahan dan bukit serta beberapa aliran sungai sebagai anak sungai Grindulu, sungai terbesar di Kabupaten Pacitan seharusnya menjadikan desa ini tidak kekeringan. Namun pada kenyataannya hampir setiap tahun desa ini mengalami kekeringan pada musim kemarau panjang.
Kondisi ini yang membuahkan sebuah tradisi adat sebagai prosesi untuk meminta hujan kepada Sang Maha Pencipta, yaitu upacara adat Mantu Kucing yang berawal dari kejadian masa silam (tidak disebutkan tahun kejadiannya) dikisahkan seorang warga desa yang memperoleh “wisik” (petunjuk dari Alloh) agar turun hujan, maka mereka harus melaksanakan upacara mantu kucing. Waktu itu para sesepuh desa segera mengadakan musyawarah untuk melaksanakan upacara mantu kucing, sebagai bukti kepercayaan dan kepatuhan mereka terhadap Sang Maha Pencipta sesuai wisik yang diperoleh.
Upacara ini menyerupai upacara adat di Yunani purba, yakni sewaktu kemarau panjang rakyatnya mengadakan upacara menyembelih kambing jantan (tragos) agar dewa Zeus berkenan menurunkan hujan di daerah yang dilanda kemarau panjang.
Sekalipun yang dinikahkan hanya hewan kucing, masyarakat Pacitan menyebut dua ekor kucing yang dinikahkan itu dengan istilah pengantin (manten, dalam bahasa Jawa) dan sampai saat ini upacara Mantu Kucing masih rutin dilakukan oleh warga desa Purworejo ketika musim kemarau panjang melanda desa mereka.
B. KRONOLOGIS UPACARA ADAT MANTU KUCING
Upacara mantu kucing ini ditradisikan di desa Purworejo Kabupaten Pacitan dalam suatu kegiatan untuk meminta hujan kepada Tuhan pencipta langit dan bumi. Upacara ini diadakan bila wilayah tersebut dilanda musim kemarau yang berkepanjangan Mantu kucing tiada ubahnya seperti orang mengadakan upacara pernikahan dua anak manusia. Hanya khusus dalam keperluan ini yang dinikahkan adalah dua ekor kucing dan tidak didudukkan di kursi pelaminan melainkan di dalam tandu, namun demikian pengantin juga dihias walaupun hanya dipakaikan mahkota dari janur kuning. Selain itu kedua mempelai juga tidak mengucapkan ijab qobul sendiri melainkan diwakili oleh masing-masing kepala desa dimana kucing yang dinikahkan berasal.
Kucing betina berasal dari desa Purworejo dan kucing jantan diambil dari desa tetangga yang bersebelahan dengan desa Purworejo yakni desa Arjowinangun, yang terletak tepat di sebelah barat desa Purworejo. Upacara ini secara tradisional diadakan ditepi sebuah aliran sungai tempat kucing betina yang dinikahkan dipelihara, menurut tetua warga desa hal ini dimaksudkan supaya sungai yang berada didekat tempat upacara itu segera dialiri air yang berasal dari air hujan sebagai hasil dari permohonan mereka melalui upacara ini sebagaimana yang mereka percaya.
Tata urutan upacara ini adalah:
1. Pada hari yang telah ditetapkan, pengantin perempuan dinaikkan tandu, diarak dan dibawa ke tempat upacara pernikahan.
Tempat yang dimaksud berada di batas desa asal kucing betina dan dipilih di tepi sungai. Di tempat inilah calon pengantin perempuan (kucing betina) menanti kedatangan calon pengantin laki-laki (kucing jantan) yang berasal dari desa Arjowinangun.
2. Upacara Temu Manten.
Setelah penganten laki-laki datang di tempat tersebut diadakan upacara temu penganten. Penganten laki-laki diarak dengan pengiring yang membawa sesaji dan seperangkat barang sasrahan (barang yang diserahterimakan atau biasa disebut mahar) dari pihak besan laki-laki kepada besan pihak perempuan. Mahar dalam perkawinan kucing ini biasanya berupa pedaringan (dalam bahasa Jawa disebut genthong) yaitu sebuah wadah terbuat dari tanah liat yang digunakan untuk tandon air, menurut warga desa hal ini mengisyaratkan warga sudah siap menadah hujan yang turun dengan menggunakan tandon tersebut.
Dalam upaca serah terima ini pengantin laki-laki (kucing jantan) diwakili oleh seorang wanita (ibu kepala desa Arjowinangun). Pihak penerima adalah wakil pengantin perempuan yang diwakili oleh seorang bapak (kepala desa Purworejo). Temu penganten itu disebut jemuk Setelah upacara serah terima penganten laki-laki dan perempuan didudukkan bersanding di dalam tandu penganten perempuan kemudian kedua penganten diarak menuju ke tepi sungai.
Calon mempelai perempuan dipilih kucing betina yang sudah dewasa tapi belum pernah beranak, berbulu coklat halus dan sehat serta asli dipelihara oleh warga desa Purworejo. Sedangkan calon mempelai laki-laki dipilih kucing jantan yang sudah dewasa dan diperkirakan belum pernah bersama kucing betina, berbulu coklat halus dan sehat serta dipelihara di desa Arjowinangun.
3. Upacara Memandikan Penganten.
Sebagaimana pengantin manusia, pengantin kucing ini juga dimandikan untuk mensucikan diri sebelum memasuki akad nikah. Di tepi sungai tempat pesta pernikahan berlangsung, kepala desa Purworejo menyerahkan kedua penganten kepada sesepuh desa (dukun yang bernama mbah Dullah). Kakek inilah yang memimpin upacara memandikan pengantin dengan air bunga, sekaligus upacara akad nikah dimana ijab kabulnya diucapkan oleh kepala desa Purworejo dan diterima oleh sesepuh yang memimpin upacara ini. Kakek sesepuh desa kemudian mengucapkan doa dan mantra, dengan perantaraan dua ekor kucing (sepasang penganten) yang dimandikan, sang Kakek memohon kepada Tuhan agar diturunkan hujan yang berkah.
4. Upacara Ngalap Berkah.
Upacara ngalap berkah berupa selamatan dengan tumpeng nasi kuning. Sesudah dipanjatkan doa, warga masyarakat mengadakan makan bersama yang disebut “kembul bujana punar” artinya secara bergantian warga desa yang ngestreni (menghadiri) mengambil nasi kuning. Tumpeng nasi kuning dipersiapkan pihak penganten perempuan (kepala desa Purworejo)
5. Upacara Penutup - Sungkeman.
Setelah selesai upacara ngalap berkah, rangkaian upacara dilanjutkan dengan sungkeman. Pihak keluarga penganten laki-laki dan perempuan bergantian melakukan sungkeman sebagai tanda akhir upacara mantu kucing. Kakek dukun meminta kepada segenap warga desa yang mengikuti upacara agar dengan segera meninggalkan tempat upacara, menuju kerumah masing-masing karena diyakini setelah itu akan turun hujan yang deras.
Sepasang pengantin kucing yang telah dinikahkan kemudian dibawa pulang oleh kepala desa Purworejo dan dipingit didalam kandang selama 7 hari atau sampai hujan turun dan setelah itu dipelihara biasa selayaknya kucing piaraan.
Upacara adat Mantu kucing menggunakan musik pengiring selawatan yang ritual dan mengacu ke tradisi Khataman nabi.
Dialog-dialog yang diucapkan dalam upacara adat ini antara lain:
1. Dialog pasrah pihak penganten perempuan yang diucapkan oleh kepala desa Purworejo, ditujukan kepada pihak penganten laki- laki (kepala desa Arjowinangun).
2. Dialog penampi (penerimaan) yang diucapkan oleh pihak penganten laki-laki (kepala desa Arjowinangun) ditujukan kepada kepala desa Purworejo.
3. Dialog pasrah pihak penganten (kepala desa Purworejo) kepada sesepuh desa
4. Ijab Kabul antara kepala desa Purworejo (pihak pengantin laki-laki_ dengan sesepuh desa
5. Monolog sesepuh desa yang memimpin upacara adapt Mantu Kucing disaksikan oleh seluruh warga desa yang menghadiri (mangestreni). Monolog ini berisi rangkaian kata- kata doa/pengucapan mantra-mantra menjelang pelaksanaan kembul bujana punaru sebagai permohonan kepada Sang Maha Pencipta agar diturunkan hujan.
6. Pernyataan sesepuh desa bahwa upacara telah selesai. Begitu upacara selesai segenap warga diminta pulang ke rumah masing-masing dengan segera.
Sumber:
http://ikariba.blog.uns.ac.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjunganya!
Tolong berikan komentar, dan bagikan artikel ini melalui media sosial..